SELAMAT DATANG

Terimakasih telah mengunjungi blog ini, semoga bermanfaat bagi anda..

Selasa, 30 November 2010

A greenhouse in space



MagISStra greenhouse
It’s small, but it’s a greenhouse for space voyagers – and for you. Paolo Nespoli will take a special greenhouse with him to the International Space Station and he’s inviting young science enthusiasts to conduct an experiment with him.
Growing plants in space will be crucial for the astronauts of the future. When flying to Mars or even further, it will be necessary to produce fresh food onboard and become partially self-sufficient. Setting up greenhouses on the Moon, Mars or other planetary bodies will also be an important part of future exploration missions. 
reenhouses also provide oxygen and bring some life to the bleakness of space. Caring for plants is a good way to maintain memories of Earth and an enjoyable way to pass time during the long and possibly boring interplanetary cruise.  
 




Nespoli during STS-120
Paolo Nespoli during his previous flight
Plants aboard the ISS

There is no danger of boredom during Paolo’s MagISStra mission, as it will be packed with activity and science. The ‘Greenhouse in space’ project, proposed and conceived by ESA’s Directorate of Human Spaceflight, is not only a scientific experiment but also an educational opportunity for schoolchildren aged between 12 and 14. Paolo will use a specially-developed greenhouse in space to grow plants and make observations of the life cycle of a flowering plant. The schoolchildren will be able to follow this with their own experiment on the ground, using a similar greenhouse and the same species of plant.





The experiment starts with watering of some thale cress (Arabidopsis thaliana) set up in the International Space Station’s Columbus laboratory. The children will start their own ground experiments at the same time.
Paolo will take still images of the growth cycle and video recordings of key steps in the germination of the plants and post them on the MagISStra website. The participating children will be able to compare the space experiment with their ground experiment.
Closeup of the MagISStra greenhouse
Thale cress growing
The young scientists on the ground and Paolo in orbit will follow the growth cycle of their flowering plants for about 10 weeks. The children will be encouraged to exchange their observations with each other over this period, creating a Europe-wide network that enables one experiment to link young scientists together in a special way.





Order your own greenhouse!


Drawing ofthe MagISStra greenhouse

Drawing of the MagISStra greenhouse
Schools who wish to participate in this experiment can order their mini greenhouse ground kits from the ESA's Human Spaceflight education website, where there are limited numbers available. 
The instructions can be downloaded in 13 languages from ESA's Human Spaceflight education website as from January 2011.

The children will be invited to send their end results and observations to the ESA Human Space Flight education team, who will create a final lesson online for download by other schools and teachers. 

The experiment will be launched in mid February 2011 with a live event linking together nearly 750 children in four locations in Europe: the European Astronaut Centre in Cologne, Germany; ESRIN in Frascati, Italy; Cité de l’Espace in Toulouse, France; and Ciência Viva – Agência Nacional para a Cultura Científica e Tecnológica in Lisbon, Portugal. 

Paolo will of course particpate in the event from the Space station which will have its own minature greenhouse.

source:  http://www.esa.int


Readmore »»

Senin, 29 November 2010

4 PATAHAN dalam peristiwa GEMPA JOGJA

seismik-history-jawa-tengah.jpg



Quantcast
Berikut obrolan santai lagi tentang Jogja dengan patahan dan gempanya.
Setelah di cermat-cermati lagi peta-nya Bu Dwikorita dkk, sekaligus membaca lagi artikelnya Fukuoka dkk itu (Fukuoka et.al, 2006, interpretation of the 27 May 2006 Yogyakarta Earthquake and the Subsurface Structure Deduced from the Aftershock Activity Observations), kita memang arus curiga tidak hanya satu sesar, melainkan edikitnya EMPAT sesar yang terlibat dalam ‘aktivitas’ gempa Yogya. Saya sertakan juga grafisnya.

three-faults-at-ygy.jpg
Yang pertama harus disebut tentu tidak lain dan tidak bukan adalah sesar Opak. 

Namun sekitar sepuluh km di sebelah baratnya ternyata membujur sesar kedua, sesar lain (yang tersembunyi, terpendam di bawah sedimen setebal > 1 km) dengan arah sama dan harus dicurigai sesar ini turut bergerak signifikan, mengingat daratan persis di atasnya justru menjadi lokasi2 kerusakan yang cukup parah. Mungkin sesar ini juga yang ertanggung jawab kenapa pergeseran di Yogya dan Bantul cukup besar (masing2 7 dan 10 cm), padahal edua lokasi ini jauh dari sesar Opak.

Yang ketiga, dari Prambanan ke tenggara, melintasi Gantiwarno. Gak tahu apa namanya, tapi sesar ini jadi batas utara Pegunungan Sewu (alias Southern Mountains). Kita juga harus curiga sesar ini telah ikut bergerak, karena banyak longsoran dan rekahan yang dijumpai di sini meski posisinya cukup jauh dari lokasi episentrum gempa utama. Mungkin getaran akibat gerakan sesar ini pula yang sempat memporak-porandakan Wonogiri hingga Ponorogo.

Yang keempat, dari Parangtritis ke barat daya. Kemarin saya menyebutnya sesar Kulonprogo – Parangtritis. Ada beberapa episentrum aftershock di sini. Juga jangan dilupakan adanya titik longsoran di kompleks Goa Seplawan, tepatnya di Watu Kelir, perbatasan Kulonprogo – Purworejo (titik ini tidak masuk dalam skupnya peta Bu Rita). Kalo ditarik garis lurus menuju Parangtritis, ternyata lintasannya berimpit dengan sesar Kulonprogo – Parangtritis tadi.

seismik-history-jawa-tengah.jpgSimpulan (prematur)nya, ada 4 sesar yang berperan dalam gempa Yogya. Terus terang kalo bicara prediksi ke depan, mungkin kita harus mengkhawatirkan segmen di utara Yogya (tepatnya dari Prambanan ke utara, dimana dihipotesakan ada sesar menuju Merapi – Merbabu – Telomoyo – Ungaran menurut van Bemmelen) serta segmen di sebelah barat Kulonprogo (dimana dataran rendah aluvial membentang hingga ke Cilacap, berujung pada sesar Citanduy – Kroya yang konon juga masih aktif dan punya potensi membangkitkan gempa tektonik dengan Mw = 6,1 menurut artikel di Kompas beberapa waktu lalu). Pergeseran sebesar 60 cm dalam sesar Opak, seperti yang dihitung pak Irwan Meilano, bukanlah angka yang kecil.
Salam
Note :
Salah satu kesulitan menginterpretasi patahan mana yg bergerak pada gempa jogja kemarin adalah tidak adanya “surface expression” dari “subsurface rupture”. Ketebalan endapan Merapi selain sebagai penyerap gaya (meningkatkan daya rusak/gound acceleration), membuat ekspresi gempa tidak terlihat dengan baik dipermukaan. Juga belum jelas diketahuinya geologi bawah permukaan , terutama dibawah endpan merapi, termasuk adanya kondisi permukaan yg labil (surface critical condition) akibat morfologi ini menjadikan interpretasi bawah permukaan di Jogja menjadi sulit.

Sayangnya tidak ada data seismic section yg sering dipakai di perminyakan utk daerah Jogja ini. Lah oil company ya ngga mau membuang duit kalau tanda-tanda minyak belum dijumpai di daratan Jogja ini. 
sumber:rovicky
Readmore »»

Minggu, 28 November 2010

VULKANISME & EVOLUSI TEKTONIK

Pendahuluan

Para peneliti terdahulu telah menyampaikan kesesuaian hubungan antara tatanan geologi dan geofisika dari busur kepulauan Indonesia dengan tektonik global yang baru. Gagasan mengenai hubungan antara vulkanisme dan tektonik Indonesia telah digambarkan oleh van Bemelen (1949), yang pemahaman dan sintesisnya dengan tektonik lempeng saat ini tidak selaras. Gagasan lebih lanjut adalah menjelaskan evolusi tektonik Indonesia bagian barat dengan memakai data baru dan menggunakan penentuan umur batuan granit, serta menjelaskan gejala evolusi tektonik Indonesia bagian timur yang rumit. Di sini tektonik lempeng digunakan sebagai dasar, memodifikasi, meningkatkannya dan melakukan perubahan terhadap yang perbah dilakukan dalam teori klasik.   

Pembaruan Model Tektonik Lempeng Indonesia

Model tektonik lempeng Indonesia dalam satu pola konvergen telah dibuat oleh Hamilton (1970) dan Katili (1971). Sistem busur subduksi Sumatera dibentuk oleh penyusupan lempeng samudra di bawah lempeng benua. Lempeng benua tebal dan tua ini meliputi busur volkanik berumur Perm, Kapur dan Tersier (Katili, 1973).  Sedimen elastis sangat tebal  menyusup di subduksi Sumatera (Hamilton, 1973) dan sedimen yang tebal didorong ke atas membentuk rangkaian kepulauan. Batuan magmatik yang dibentuk di atas zona Benioff selalu mempunyai karakter asam dan menengah.

Sistem subduksi Jawa dibentuk oleh subduksi lempeng samudra di bawah lempeng benua. Lempeng ini tipis dan berumur muda, serta seluruhnya hampir terdiri dari batuan volkano-plutonik berumur Tersier (Katili, 1973). Beberapa ignimbrit dijumpai di Jawa. Batuan magmatik kebanyakan menengah. Lempeng samudra di selatan subduksi tertutup sedimen pelagis dengan ketebalan 200 m (Hamilton, 1973).

Sistem subduksi Timor menunjukkan karakter yang berbeda. Dua fase yang berbeda dapat  dirincikan dalam perkembangan busur Banda. Pada tahap awal, lempeng samudra India-Australia disusupkan dibawah lempeng samudra Banda. Tahap berikutnya diikuti oleh subduksi lempeng benua Australia ke zona subduksi busur Banda, sebagai akibat gerakan menerus lempeng Australia ke utara. Hasil dari penurunan zona subduksi aktif ini adalah tidakadanya gunungapi aktif di pulau Alor, Wetar dan Romang. Jika asumsi ini benar, maka perlu dicari material mantel (ofiolit) di endapan tua Timor, serta sedimen darat di endapan-endapan Plio-Plistosen

Batuan magmatis yang dibentuk di atas zona Benioff Timor cenderung menengah dan basa. Lempeng di sini tipis dan muda dan diapit oleh lempeng benua. Ketebalan sedimen di zona subduksi Timor saat ini sekitar 8000 kaki, dengan kondisi yang relatif terganggu oleh sesar tensional yang dapat diamati.

Busur Sumatera, Jawa dan Banda menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh elemen-elemen lempengnya. Lempeng yang tua dan tebal akan membentuk rangkaian pulau-pulau besar dengan sifat gunungapi asam sampai menengah, sedang lempeng yang muda dan tipis akan membentuk pulau-pulau kecil dengan sifat gunungapi menengah sampai basa.

Dalam zona subduksi Tersier di Kalimantan barat-laut jarang ditemukan elemen-elemen eugeosinklin seperti ofiolit, rijang, lempung merah. Flish berumur Kapur Atas – Eosen Atas  yang berkembang sedikit atau tidak mengandung rijang dan ofiolit, sehingga menunjukkan adanya subduksi sangat miring (Haile, 1972).

Zona subduksi kapur di Jawa Tengah yang menerus ke Pegunungan Meratus di Kalimantan menunjukkan karakteristik dari batuan bancuh tipe Fransiscan (Sukendar, 1974) dan bentuknya yang mengarah ke subduksi Lempeng Samudra India-Australia,

Busur luar non-volkanik Indonesia ditafsirkan sebagai zona subduksi Tersier (Hamilton, 1970; Katili, 1973), dengan berbagai jenis  petro-tektonik yang dapat dibedakan. Pulau-pulau di pantai barat Sumatera ditandai oleh flish tebal dengan sedikit ofiolit.

Di pulau Timor, Seram, Buru dan Buton, sejumlah besar material sedimen klastik ditemukan. Sedimen Plio-Pleistosen hampir seluruhnya mempunyai karakter sedimen dan sedikit ofiolit.

Zona Subduksi Tersier dari Sulawesi Timur menunjukkan bahwa lapisan tipis sedimen pelagis mengisi palung. Hal yang sama terjadi di sekitar Halmahera dan pulau kecil disekitarnya. 

Kerangka Tektonik Busur Kepulauan Indonesia

Busur Sunda memperlihatkan efek dan mekanisme tektonik lempeng yang jelas. Bentuknya yang cembung ke arah samudra India dan perbedaan tatanan geologi, dan geofisika diintrepretasikan berhubungan dengan gaya tektonik yang bekerja padanya.  (Hatherton dan Dickinson, 1969; Fitch, 1970;  Hamilton, 1973; dan Katili, 1973).

Bentuk busur Banda yang melengkung, serta Sulawesi dan Halmahera yang ganjil terjadi karena gerak benua Australia dan Papua ke arah utara, yang dikombinasikan oleh gaya dorong Lempeng Pasifik ke arah barat (Katili, 1973). Hal serupa juga dikemukakan oleh Visser dan Hermes (1962), Audley-Charles dan Carter (1972), dan Gribi (1973). Timor, Seram, Buru dan Buton merupakan sistem busur yang sama berkenaan dengan kesamaan tatanan geologinya yang berasal dari hasil penunjaman Lempeng Samudra India-Australia.

Sulawesi pada zaman Mesosoikum kaya batuan metamorf, kecuali Buton dan Seram. Bagian tenggara Sulawesi mengandung ofiolit yang diperoleh dari lempeng samudra dengan endapan nikel dan krom, sedang Buton, Seram dan Timor menunjukkan perlapisan yang mengandung hidrokarbon.

Busur dalam volkanik Sangihe dan busur luar non-volkanik Talaud cenderung sejajar berarah utara-selatan. Punggungan Talaud meluas sampai Mayu dan menerus ke lengan timur Sulawesi. Punggungan bawah laut Mayu di Laut Maluku menunjukkan gaya berat minimum yang diduga merupakan akumulasi endapan-endapan opak dari sisa subduksi tua.

Bentuk dua lengan Sulawesi timur dan Halmahera dapat disebandingkan dengan dua anak panah yang bergerak ke barat. Ini telah diketahui cukup lama bahwa lengan timur yang cembung ke arah barat terdiri dari ofiolit, dan busur barat terdiri dari gunungapi aktif, yang di Sulawesi telah padam pada zaman Kwarter. Sulawesi dan Halmahera merupakan busur kepulauan yang mengarah ke utara selatan yang cembung ke arah Pasifik dengan zona subduksi Sulawesi-Maluku yang miring ke barat.

Pergerakan Lempeng Pasifik ke arah barat yang mengikuti sistem sesar transform menjelaskan kompleksitas tatanan geologi kawasan Sulawesi-Halmahera.  Selama pergerakan ini pulau Banggai dan Buton dibawa ke arah timur laut. Pergerakan Banda ke arah timur-barat hanya merupakan pelenturan, tidak membuat sesar besar sepertihalnya di Papua dan Sulawesi.  Vulkanisme Kenozoikum  Sampai Resen

Daerah ini mempunyai tiga fase evolusi magmatik, seperti dikemukakan oleh Stilles sebagai “initialer vlkanismus”, “synorogener putonismus” atau “subsequenter vlkanismus” dan “finaler vlkanismus”. Tetapi konsep ini tidak dapat diterapkan dengan kaku ketika mempelajari hubungan antara volkanisme dan tektonik di Indonesia (Katili, 1969). Konsep Stilles hanya menunjuk satu daerah orogen, dan van Bemmelen memperluas gagasan itu dan menerapkan hal tersebut ke zona yang mempunyai struktur paralel pada sistem pegunungan Sunda, sesuai dengan teori undasinya.

Variasi komposisi laterit dari magma basal memotong kepulauan Indonesia ke berbagai busur sesuai dengan klasifikasi Kuno (1966), kedalaman yang berbeda akan memproduksi magma yang berbeda. Hartheron dan Dickinson (1969) menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat korelasi antara peningkatan K2O dalam produk gunungapi yang baru dengan  kedalaman zona Benioff. Withford dan Nichols menyimpulkan bahwa kandungan K2O batuan dari gunungapi tunggal di Jawa normalnya memberikan hubungan garis lurus apabila dirajahkan dengan zona Benioff.  

Perbedaan kenampakan geologis, geofisik dan kegunungapian Sumatera dan Jawa terjadi karena perbedaan arah gerak ke utara dari lempeng India-Australia, dan perbedaan evolusi penurunan slab. Ini didukung fakta bawa zona magmatik di Sumatera dan Jawa mempunyai pola berbeda (Katili, 1973). Gunungapi di busur Jawa dan Banda menunjukkan dengan jelas efek dari proses ini.

Gunungapi potasik yang hadir di utara Jawa, utara Flores maupun Sumbawa tidak dijumpai di Sumatera. Ini dapat diterangkan bahwa penetrasi terdalam dari litosfer di Jawa dan Flores dapat mencapai 400 dan 700 km. Ketidakadaan gunungapi di Alor, Wetar dan Romang telah dijelaskan oleh adanya penghentian subduksi di busur subduksi Timor (Katili, 1974). Jika gunungapi ini masih berhubungan dengan subduksi Timor, maka perlu ada kesimpulan lain: seberapa jauh subduksi yang padam mempengaruhi keaktifan gunungaapi seperti terjadi di Una-una di teluk Gorontalo, Sulawesi Tengah.

Fitc (1970) menunjukkan bahwa walaupun tidak ada bukti dari mekanisme lokal untuk mendukung keberadaan undertusting sepanjang ujung timur busur Sunda, zona Benioff ada di zona ini. Penghentian zona subduksi oleh ketidakadaan undertrusting tidak harus menunjukkan penghentian gerak litosfer di bagian dalam.

Gunung api alkali kapur di busur Banda cenderung sejajar dengan palung Timor-Seram, dan berakhir dengan tidak beraturan di Seram. Zona subduksi berakhir di utara Buru dan berubah menjadi bagian luar sisi selatan dari zona sesar Palu Koro. Tidak ada gunungapi aktif yang hadir di antara pulau Buru dan lengan tenggara Sulawesi sebagai representasi lingkungan sesar transform.

 Di lengan barat Sulawesi, gunungapi aktif Kenozoikum akhir hadir di ujung selatan pulau, di teluk Gorontalo sebagai gunungapi Una-una serta di wilayah Minahasa dan Sangihe. Posisi tektonik dari gunungapi potasik di Sulawesi selatan ini tidak jelas zona Benioff  yang terjadi pada penyusupan di Pulau Jawa

Gunungapi Una-una memproduksi batuan seri alkali menengah, dan tidak ada hubungannya dengan  gunungapi-gunungapi alkali kapur yang terdapat di Sangihe dan Minahasa (Katili, 1960). Gunungapi berhubungan dengan adanya zona subduksi yang miring ke arah selatan yang telah patah, seperti dikemukakan Hamilton (1970). Kandungan potas yang tinggi sesuai dengan keberadaan zona subduksi itu. Gunungapi-gunungapi aktif alkali kapur dari kelompok Minahasa-Sangihe dapat berhubungan dengan zona subduksi yang miring ke arah barat, yang sejajar dengan jalur volkanik ini .

Kenampakan menarik lain yang dikemukakan oleh van Bemmelan adalah adanya plato basal di Lampung, Karimunjawa, Miut (Kalimantan Barat) dan Mindai (Paparan Sunda) yang sangat alkalis (Hutchinson, 1973). Di Sumatera tidak dijumpai gunungapi potasik dan litosfer tidak mempunyai kedalaman lebih dari 200 km. Boleh jadi keberadaannya di Kalimantan Barat, kepulauan paparan Sunda atau di Malaysia tidak berkaitan dengan zona subduksi yang ada di sebelah selatan, tetapi dihubungkan dengan zona subduksi yang lain. Hal tersebut juga tidak dijumpai di Selat Makassar dan Laut Cina. Hutchison (1973) mengemukakan hubungan basal tersebut  ke deep extension faulting sebagai interaksi lempeng-lempeng Eurasia, Samudra India-Australia dan Pasifik. 

Adalah menarik untuk dicatat bahwa basal alkali Karimunjawa dan Sukadana diposisikan sebagai batuan dasar yang terangkat. Busur Karimunjawa, menurut Nayoan (1973) merupakan komplek batuan sedimen klastik dengan ketebalan lebih dari 1.000 m, terdiri dari batupasir kwarsa yang termetamorfkan berumur Kwarter, yang tertutup batuan basalan. Tinggian Lampung  yang ditutup oleh basal Sukadana yang berasal dari geneis pra Tersier dan amfibolit yang diintrusi oleh batuan granit berumur Kapur (Katili, 1973). Pemikiran spekulatif pemunculan batuan basal alkali ini diinterpretasikan sebagai gunungapi aktif oleh hot spot yang tidak dapat dihubungkan dengan zona-zona subduksi dan pengangkatan. Jika asumsi ini benar, maka kita harus menerima kenyataan bahwa dataran Sunda telah berproses berjuta-juta tahun (Wilson, 1972)  Vulkanisme Tersier

Lokasi geografi kepulauan-kepulauan timur Indonesia sebelum interaksi Lempeng-lempeng Eurasia, India-Australia dan Pasifik direkontruksikan berdasarkan pada analisis kinematik kerangka tektonik kepulauan Indonesia seperti telah didiskusikan paparan terdahulu.

Batuan volkanik Tersier di lengan barat daya Sulawesi meliputi trakit, batuan piroklastik, dasit, andesit, lava dan endapan lahar yang sebagian telah terkonsolidasi.  Batuan ini terdapat di Pare-pare dan di sepanjang zona sesar Palu.  

Batuan volkanik basa menghadirkan bentuk basal dan spilit. Umur batuan yang tidak diketahui hanya batuan volkanik Donggala di Sulawesi Tengah yang dianggap sebagai fasies volkanik berumur Eosen Formasi Tinombo.

Batuan granit di bagian selatan Sulawesi mempunyai umur yang berkisar 5 x 106 sampai 8,6 x 106 juta tahun, sekitar Pliosen Awal sampai Miosen Akhir. Batuan beku gunungapi berumur Tersier Awal di lengan utara Sulawesi telah diselidiki secara dengan rinci oleh Trail dkk (1974)

Formasi Dolokopa yang berumur Miosen Awal sampai Akhir mengandung andesit yang berlapis dengan graywacke dan batugamping. Volkanik Bilungala pada Miosen Awal sampai Pliosen di dekat Gorontalo mengandung andesit, dasit dan riolit. Breksi Wobudu berumur Miosen sampai Pliosen terdiri dari aglomerat andesit, tufa dan beberapa dasit serta basal. Gunungapi Pani yang diperkirakan berumur Pliosen, terdiri dari dasit, riolit, dan andesit yang terdiri dari batuan gunungapi dengan nama gunungapi Pinogu yang berumur Pliosen Akhir sampai Plistosen, mengandung andesit, dasit tuf dan aglomerat.  Tidak ada penanggalan radiometrik dilakukan terhadap batuan granit di kawasan ini, tetapi indikasi hubungan di lapangan menurut Trail dkk (1974) berkisar antara Pliosen (granodiorit Bumbulan) sampai Miosen (diorit Bone dan Bolihuto). Hal ini mungkin berhubungan dengan zona subduksi dari gunungapi Miosen di lengan utara dan lengan timur Sulawesi.

Batuan volkanik dan granitik berumur Pliosen akhir di Gorontalo boleh jadi desebabkan oleh subduksi minor yang terletak di barat laut Sulawesi yang terjadi akibat bergeraknya sistem sesar Sorong ke arah barat.   Vulkanisme Pra Tersier

Batuan volkanik Kabur di Pegunungan Gumai mengandung dua fasies yang berbeda (Musper, 1937). Seri Saling yang mengandung tufa, batuan breksi volkanik kasar, aliran lava berkomposisi basalan dan andesitan dan batugamping terumbu. Seri Lingsing yang berisi formasi monoton dari lapisan tipis asam dan lempung dengan rijang radiolaria. Batuan volkanik berumur Kapur Atas mempunyai kisaran umur 169 ± 7 sampai 171 ± 3 juta tahun.

Volkanisme Perm terjadi di sepanjang Sumatera. Kejadian pada dataran tinggi Padang, Sumatera Tengah dan Jambi dirincikan dengan baik oleh Klompe dll (1961). Di Sumatera Tengah batuan volkanik mengandung aliran andesit horblenda, andesit augit dan tufa dengan interkalasi serpih asam dan batugamping yang mengandung fosil berumur Perm. Model tektonik lempeng memerlukan eksistensi granit Perm di Sumatera. Berdasarkan penentuan radiometri granit Paleozoikum di Sumatera Selatan dan Tengah berumur 276 – 298 juta tahun.

Batuan volkanik basalan dan andesit yang melimpah  dideskripsikan oleh Klompee (1961) di Kalimantan Barat dan Malaysia Timur. Sebaran batuan volkanik andesitan dan riolitik yang melimpah merupakan ciri khas semanjung Malaysia Timur (Hutchinson, 1973)

Kesesuaian zona subduksi  gunungapi Sumatera berumur Perm  yang menyusup ke benua Asia dengan zona Benioff purba yang berasosiasi dengan volkanik Malaysia – Borneo, yang menyusup ke arah Samudra India. Kejadian ini tidak sesuai dengan sistem palung busur yang telah dirincikan oleh Katili (1973) dan diperkuat oleh  Hutchinson (1973) Pupilli (1973). Alkali granit yang melimpah dengan umur yang berbeda di Kalimantan barat nampak mendukung keberadaan postulat yang menolak adanya zona subduksi ini.

Kejadian lain menyebutkan bahwa volkanisma Perm di Timor, didiskusikan oleh Roever (1941). Batuan di sini mengandung basal olivin, traki basal, traki alkali dan alkali riolit yang lebih tua dari ofiolit Timor, yang selama ini dikenal sebagai kegiatan volkanik di awal geosinklin. Kenampakan gologis, komposisi dan umur gunungapi tersebut  menunjukkan bahwa bukan busur volkanik Perm.   Penutup

Zona penujaman berumur Perm yang menyusup ke timur laut ke arah Benua Asia yang hadir di Kalimantan Batat menunjukkan salah satu episoda hadirnya litofser ke kawasan ini. Vulkanisma andesitan dan tubuh granit menyertai proses subduksi ini. Dalam waktu yang sama subduksi yang berarah barat daya dipercaya bekerja di timur laut tepi benua. Batuan andesitan, basalan, granitik terdapat di Malaysia Barat dan Kalimantan Barat sebagai kawasan volkano-plutonik.

Pada zaman Kapur zona subduksi bagian barat daya dan barat laut, keduanya menjadi lebih besar dan mengarah ke Samudra India dan Laut Cina Selatan.

Selama Tersier pengembangan sistem palung busur di Indonesia mencapai titik paling tinggi. Pusat pemekaran yang berasal dari Samudra Idia menghasilkan satu sistem palung busur yang meluas dari ujung barat laut Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Timor, Tanimbar, Kai, Seram, Buru dan Buton. Busur Banda pada waktu itu menunjukkan kecenderungan arah timur-barat seperti di Nias, Mentawai dan selatan Jawa yang memanjang sejauh 6.000 kilometer. Volkanisme secara intensif dan serempak terjadi bersamaan sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa dan Sunda Kecil. Batuan granitis ditemukan di Flores, Alor dan Ambon sepanjang jalur volkano-plutonik Tersier

 Pada waktu yang hampir bersamaan pola subduksi baru berarah utara selatan terbentuk di timur Kalimantan, dengan pusat pemekaran di Samudra Pasifik. Kemunculan  ini berhubungan pula dengan sistem busur kepulauan Sulawesi – Filipina, karena arah gerak lempeng Pasifik sejak Oligosen-Eosen berubah ke dari timur – barat (Ben Abraham dan Uyeda, 1973).

Pada Miosen Tengah sampai Atas arah  zona subduksi Sulawesi Minadanau bergeser dari utara – selatan  lebih ke timur, sehingga membentuk busur kepulauan Halmahera. Busur ini tidak dapat berkembang lebih jauh. Subduksi berhenti pada akhir Miosen, dan membentuk busur luar non-volkanik seperti Mentawai, Nias, Tanimbar, Kei, Buru, Seram dan Buton.

Peristiwa paling dramatis di dalam sejarah geologi Indonesia terjadi selama Pliosen, ketika benua Australia bergerak cepat keutara bergabung dengan perputaran Papua yang berputar berlawanan arah jarum jam, dan bersama-sama ke barat membentuk sistem sesar transform Sorong, yang merubah perkembangan Indonesia Timur. Busur Banda yang berarah timur-barat dibengkokan ke arah barat membentur Sulawesi dan Halmahera, sehingga membentuk huruf K, juga menekan Sulawesi kembali  beratus kilometer kembali ke arah benua Asia.

Pada zaman Plio-Plestosen zone subduksi  barat Sumatera dan selatan Jawa bergeser ke arah laut dari palung Sumatera dan Jawa saat ini. Volkanisme Akhir Kapur sampai Resen bergerak dengan arah kebalikan dari arah kemiringan zona Benioff menunjukkan kedangkalan dibanding sebelumnya.

Pergerakan benua Australia ke arah utara dan pergerakan lempeng Pasifik ke arah barat daya terus berlanjut, dan diakomodasikan oleh palung Banda dan sistem sesar transform Sorong, sepanjang Banggai, Sula dan Buton.

Gunungapi di Indonesia timur dibentuk setelah tumbukan, mengikuti pola yang relatif sama sejak Tersier, tetapi rusak ketika pola subduksi telah diganti oleh pergerakan sesar transform. Gunungapi ini terdapat di Sulawesi utara, yang dibentuk oleh subduksi minor yang mengakomodasi pergerakan pulau ini. Gunungapi ini juga hadir di Halmahera sebagai konsekuensi polaritas balik akibat benturan di sebelah barat pulau ini.

Evolusi tektonik Kepulauan Indonesia menunjukkan bahwa sejak  Paleozoikum zona subduksi sudah menyebar secara sistematis di area yang melebar dari benua ke arah Lautan India, dan kemudian selama Tersier di arah Lautan Pasifik. Zona subduksi semakin tua akan mendekati benua dan semakin muda mendekati lautan.

Busur volkano-plutonik juga menunjukkan suatu zonasi struktur, tetapi volkanik dan granit menunjukkan umur yang berbeda walaupun berada pada jalur yang secara umum tergantung pada tingkat kemiringan zona Benioff. Zona struktur  dan kehadiran gunungapi di Indonesia barat sulit ditetapkan kacuali sejak Paleosoikum.  Di Indonesia barat zona subduksi belum bergeser sangat jauh ke arah Samudra India, sehingga gunungapi yang lebih muda menembus jalur orogen yang lebih tua. Di Indonesia timur migrasi jalur gunungapi terjadi pada jarak beratus-ratus kilometer. Perbedaan ini dianggap sebagai perilaku menyimpang. Pertumbuhan zona subduksi di Indonesia barat secara regular dapat berlanjut, tetapi di bagian timur selama Pliosen terjadi beranekaragam benturan dari Lempeng India-Australia, Asia dan Pasifik.

Hasil tumbukan ini menjadi pelengkap zona subduksi dengan polaritas terbalik seperti yang terjadi di Halmahera dan Sulawesi barat laut.  Sintesis ini mendukung gagasan bahwa Laut Banda merupakan lempeng samudra yang terperangkap di antara busur yang lebih muda, bukan sebagai diapir yang terjadi karena mekanisme tarikan seperti dikemukakan oleh Karig (1971).   
Ringkasan dari sumber pokok Geotectonics of
Indonesia: a modern view, The Directorate General of Mines, Jakarta,  Katili J.A. 1998, hal. 200-224.
sumber:http://geohazard.blog.com
Readmore »»

VULKANISME & EVOLUSI GEOLOGI

1. Distribusi Batuan Beku

Gunung api adalah fenomena utama yang menyertai evolusi kulit bumi. Hal ini merupakan hasil nyata dapat dijumpai dalam seluruh waktu geologi. Mengambil konsep kevulkanikan dalam arti luas, sebagai sebuah proses internal maupun eksternal yang menyeluruh merupakan faktor utama dalam evolusi kerak bumi. Kepulauan Indonesia merupakan reprasentasi singkat dari tesis ini. Sejumlah busur orogen dapat dicirikan dengan baik sejak zaman Paleosoikum sampai Resen. Sebagian besar diikuti oleh intrusi dan ekstrusi batuan beku dari berbagai umur. Pencirian dapat  dibuat oleh batuan beku pra orogen, ofiolit hasil geosinklin, batuan hasil geantiklin berafinitas Pasifik, variasi orogen akhir dari batuan berafinitas Mediteran serta ekstrusi basal olivin pasca orogen.  
 
Kepulauan di Paparan Sunda.

Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang kurang stabil, dikelilingi oleh sistem busur vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini pada Palaesoikum Muda – Mesosoikum Tua. Siklus diatrofisma ini berawal di kepulauan Anambas dan menyebar ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton. Di kepulauan Anambas batuan beku basa (gabro, gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan kelompok batuan tua yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan  ini sebanding dengan batuan Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat.   Di kepulauan Natuna batuan tertua terdiri dari batuan beku basal (gabro, diorit, diabas, norit, ampibolit, serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi  ofiolit radiolaria yang dapat  dikorelasikan dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari Formasi Danau (Molengraff) di bagian utara Kalimantan Barat. Seri yang lebih muda terdiri dari serpih dan konglomerat dengan batuan vulkanik basa berhubungan dengan  batuan berumur Trias bagian atas di Kalimantan Barat dan di daerah paparan Sunda. Batuan ini diintrusi oleh batolit granit pasca  Trias.  Pulau Midai yang sangat kecil  di barat daya kepulau Natuna merupakan vulkanik basal sub resen.  

Kepulauan Riau-Lingga

Batuan vulkanik dapat  disebandingkan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia. Mereka sebagian merupakan batuan berumur Permokarbon dan Trias. Intrusi granit kemungkinan terjadi antara zaman Permokarbon dan Trias Atas. Batolit granit di daerah ini sebagian besar berumur pasca  Trias, atau mungkin Yura. Cebakan timah di daerah ini berhubungan dengan granit pasca Trias.  Cebakan timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan dan Lingga) dan banyak dijumpai di sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep). Jalur timah ini meluas ke tenggara sampai Bangka dan Biliton. Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang dapat disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai busur yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang sekarang tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar (basement) regional  dari batuan plutonik granit. Karakter kulit bumi paparan Sunda sangat berhubungan dengan intrusi granit pasca  Trias (atau intra Yura), dan pengaruh ikutannya.    

Kalimantan

Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat dimulai dengan adanya penurunan geosinklin setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra  Karbon. Kegiatan ini diikuti intrusi batuan basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan andesit dari Seri Molengraaff’s Pulau Melayu). Fase awal dari perlipatan Permotrias, diikuti oleh penempatan batolit, terutama tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga batolit-batolit  tersingkap, terjadi proses transgresi  Trias Atas. Sedimentasi berlanjut di bagian barat jalur ini sampai Lias, dan diikuti oleh volkanisme asam sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura. Transgresi Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam. Pelipatan lemah terjadi akibat tekanan intrusi diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi berlanjut sebagai intrusi hipabisal dan ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen (terutama andesit hipersten horblenda, dengan berbagai verietas asam lainnya). Di bagian Tersier  bawah Cekungan Ketunggan juga merupakan diorit holokristalin seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven  (1939). Pada zaman Kwarter, batuan basal muncul di seputar  andetis horblena Niut, sehingga dapat dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra.Batuan plutonik “Schwaner Zona” merupakan bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat. Di sini, dari timur ke barat membentuk pusat sumbu sistem pegunungan Palezoikum muda sampai Mezosoikum tua  Kalimantan Barat. Evolusi daerah ini dimulai dari pembentukan kompleks batuan dasar sekis kristalin dan geneis. Transgresi terjadi pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan psamitik dan sebagian endapan batugamping. Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang dimulai dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit. Setelah batuan plutonik tersingkap, pengendapan  pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies vulkanik  Trias Atas yang ditemukan di Zona Schwaner.  Selanjutnya terjadi perlipatan yang diikuti oleh alterasi hidrotermal epimagmatik.  Pengangkatan berlangsung sampai sekarang dengan disisipi intrusi selama  Tersier .Bagian selatan Zona Schwaner ini terdapat tiga kelompok batuan utama, yaitu batuan plutonik, batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek Ketapang. Bagian dari batuan komplek Matan dan Ketapang teralterasi oleh intrusi batolit granit. Batuan metamorf dari komplek Matan dapat dikorelasikan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia dan Kompleks  Ketapang berumur  Trias Atas. Batuan non metamorf di komleks tersebut diasumsikan sebanding dengan endapan  Tersier  Bawah dan batuan vulkanik di jalur sebelah utaranya.Di Kalimantan Tenggara terbentang Pegunungan Meratus berumur Pra Tersier berarah utara – selatan. Di Meratus perkembangan batuan beku relatif  lebih muda dibanding dengan Kalimantan Barat. Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini berumur Mesosoikum akhir. Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika proses pembentukan pegunungan di Kalimantan Barat akan selesai.  Zaman Yura geosinklin terbentuk, berikut pengendapan ofiolit dan radiolaria dari Formasi Alino. Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di Kalimantan Tenggara sama dengan batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat. Formasi Alino dan Paniungan dari zona Meratus diintrusi oleh batuan plutonik. Intrusi yang pertama ini merupakan variasi batuan plutonik asam  yang sangat beragam (dunit, peridodit) yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik.  Setelah pengangkatan pertama batuan non-vulkanik ini Zona Meratus mengalami penurunan kembali. Pada zaman  Kapur tengah sampai atas terjadi pengendapan dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat serta masa batuan plutonik peridotit dan granit.  Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-vulkanik. Pada akhir Kapur Zona Meratus mengalami pengangkatan kedua, dan aktivitas vulkanik berlangsung sampai  Tersier  Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas siklus orogenesa Zona Meratus. Zona Meratus merupakan contoh baik untuk siklus pembentukan pegunungan. Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan geosinklin yang diikuti dangan vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal mulainya pembentukan batuan plutonik basa dan ultrabasa. Penurunan geosinklin ini disertai dengan dua kali pengangkatan. Geantiklin pertama terjadi pada zaman Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik, berupa batolit granit yang diintrusikan ke pusat geantiklin. Pengangkatan kedua merupakan aktivitas vulkanik dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan.   

Filipina

Kepulauan Filipina sebagian besar terdiri dari batuan beku, sedang batuan sedimen hanya tipis di bagian permukaan. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan barat dan tenggara, evolusi orogenik di Filipina dimulai dari penurunan geosinklin, yang diikuti dengan intrusi dan ekstrusi batuan basa dan ultrabasa (ofiolit). Hanya saja prosesnya terjadi dalam umur yang lebih muda. Batuan plutonik basa dan ultrabasa merupakan kerangka dasar kepulauan ini dengan intrusi granit yang jarang terjadi. Batuan ini dianggap sebagai batuan yang paling tua, walaupun banyak beberapa argumen bahwa batuan ini lebih muda dari yang diperkirakan.    Maluku Utara.

Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas magmatisme kawasan ini sama dengan di Filipina.  Penurunan geosinklin mulai terjadi pada Mesosoikum awal. Transgresi di kelompok Halmahera kemungkinan terjadi setelah  kepulauan Sula dan Obi. Batuan abisal di kelompok Halmahera secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit. Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi selama penurunan geosinklin. Ada jeda stratigrafi antara Eosen dan Neogen. Pada endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam.  Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara, Ternate  dan pulau-pulau kecil lainnya.  

Sulawesi

Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun pulau ini.  Bagian utara dan barat Sulawesi disusun oleh batuan beku alkali  kapur  berumur Tersier. Sepanjang pantai barat sampai lengan selatan dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkali-kapur yang melampar luas. Terpisah dengan batuan ini terdapat dilengan utara. Di Sulawesi timur dan tenggara peridotit dan batuan ofiolit lainnya tersingkap luas, dengan batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada. Di Sulawesi utara, barat dan tengah hanya didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit berupa batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit banyak terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di lengan timur.  

Maluku Utara dan Busur Banda.

Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan Sistem Pegunungan Circum-Australia. Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai dengan penurunan geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini merupakan pusat diatrofisma. Dari sini deformasi menyebar ke arah utara (Sistem Seram) dan selatan  (Sistem Tanimbar), yang di dihubungkan oleh sektor Kai dan busur Banda yang hadir sampai Tersier. Evolusi busur banda ini secara umum sesuai dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia.Saat ini Sistem usur Banda mempunyai anomali isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa pada jalur ini terdapat energi potensial yang  diperkirakan merupakan busur inti dan kerak batuan sialik dengan densitas rendah. Busur ini belum terkonsolidasi dengan kuat, mempunyai temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan kekentalan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya magma aktif yang memberikan gaya vertikal jika kondisi memungkinkan.     Kepulauan Sunda Kecil.

Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi orogenesa di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis batuan beku dalam sistem ini (Roevei, 1940). Batuan tertua di Timor berumur Perm, berupa kelompok basal trakit yang mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan vulkanik ini dierupsikan pada awal pembentukan geosinklin. Setelah itu Sistem Orogenesa Timor berkembang. Seri lain berupa komplek ofiolit – split, yang berumur Pra Miosen. Batuan ini merupakan  bagian dalam dari geosinklin, yang juga dapat dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda. Batuan beku ini mempunyai karakter Mediteran yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat potasik, dierupsikan pada saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur vulkanik. Contoh dari batuan ini adalah lava yang mengandung leusit dari erupsi G. Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian dalam busur vulkanik  Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit  Tersier. Di Flores terdapat bantuan berumur intra Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus aktivitas vulkanik: Neogen Tua, Neogen muda dan Kwarter sampai Resen. Dua siklus tertua didorong oleh intrusi batolit granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah permukaan.  Pengangkatan terakhir terjadi pada Plio-Plistosen disebabkan oleh  pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini merupakan tipikal pembentukan gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar cekungan.  

Jawa

Jawa merupakan bagian dalam dari busur vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada zaman Mesosoikum jalur ini berada di bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara.  Di sini ofiolit bercampur dengan sedimen Pra  Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo dan Ciletuh, Jawa Barat.  Batuan Pra  Tersier  di Luh Ulo terdiri dari sepertinit, gabro dan diabas (Harloff, 1933). Batuan Pra  Tersier  di Ciletuh juga mengandung batuan beku basa dan asam yang termetamorfosakan (gabro, peridotit dan serpentinit) dengan sekis klorit dan filit. Pada akhir geantiklin Mesosoikum terjadi proses pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik. Akhir  Tersier  merupakan perioda penurunan. Endapan non-vulkanik berumur Eosen diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra  Tersier. Selanjutnya pada akhir Paleogen magma sampai permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai, dengan beberapa menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari vulkanik Pasifik).Pada Miosen tengah jalur vulkanik Jawa didorong oleh batolit granit sampai granodiorit, sehingga menghasilkan vulkanik-vulkanik Andesit Tua yang sangat basa. Batuan beku holokristalin Intra Miosen sekarang tersingkap di Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya (misalnya tufa dasit atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik berafinitas Pasifik.Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen akhir, yang diakhiri oleh pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus sejak Kwarter sampai sekarang. Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga vulkanik ini adalah intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang menunjukkan keanekaragaman batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona Bogor (Jawa Barat) dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah menunjukkan karakter essexitic. Pada zaman Kwarter gunungapi yang menghasilkan leusit hadir di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik (Muria, Ringgit).   

Sumatra

Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara seperti geantiklin Jawa Selatan. Selama Mesosoikum jalur ini merupakan bagian muka busur dari geantiklin yang berukuran lebih luas dari Bukit Barisan saat ini. Endapan di geosinklinal terlipat kuat membetuk isoklin dengan arah gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan masih terdapat batuan non-vulkanik. Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan berumur Kapur masih terdapat granit yang telah mengalami perlipatan kuat. Busur ini dimulai dari pulau Berhala di selat Malaka utara, meluas di sepanjang  Suligi-Lipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau Singkarak dan Jambi. Umur granit  di bagian utara jalur (pada granit pembawa timah di Berhala dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan berumur  Karbon dan Permokarbon, dan sebagian pasca  Trias. Kemungkinan granit di Lampung yang mengintrusi sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar tua merupakan bagian dari lipatan ini.Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas vulkanisma. Siklus pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh pengangkatan intra Miosen. Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang menjadi dasar dari batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti oleh erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam dengan jumlah yang sangat besar.Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas vulkanik Pasifik terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen. Selanjutnya erupsi paroksismal itu ditutup oleh letusan magma batolit granit yang berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau, Toba). Demikian juga tufa asam Lampung di Sumatra selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan di selat Sunda dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan kerucut-kerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada erupsi efusif basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung. Irupsi celah ini terdapat di tepi perisai kontinen Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan erupsi efusif basal di Midai, Niut – Karimun Jawa. 

Pulau Barat Sumatra

Kepulauan ini memberi gambaran yang berbeda dari busur luar Sistem Pegunungan Sunda.  Selama  zaman Tersier  jalur ini merupaka palung busur dari Zona Barisan. Pada zaman Eosen, intrusi basa dan ultrabasa yang terserpentinitisasi hadir. Pada zaman Kwarter pembentukan busur geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut sampai saat ini. Anomali isostatik negatif pada jalur ini menandakan adanya energi potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama dari palung busur ini seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari evolusi orogen di Kepulauan Indonesia.  

Kepulauan Andaman dan Nikobar

Peristiwa magmatisma dan orogenesa yang serupa terjadi di kepulauan ini. Seri Serpentinit representasi dari ofiolit vulkanik palungbusur lebih tua dari Eosen. Tetapi menurut Chiber (1934) lapisan basal Eosen juga bercampur dengan  batuan vulkanik ultrabasa, seperti yang terjadi di Nias.   

New Guinea

Di pulau ini terdapat dua sistem orogenesa.  Rangkaian pegunungan bagian tengah merupakan dari Sistem Cir­cum-Australian, dan bagian utara merupakan bagian dari Sistem Melanisia. Sistem Melanesia terdiri dari busur vulkanik di bagian dalam dan busur non-vulkanik di bagian luar. Bagian tengah dari busur vulkanik ini aktif pada zaman Neogen. Bagian utara dibentuk oleh busur luar non-vulkanik dari Sistem Melanisia. Di bagian utara New Guenea juga terdapat aktifitas diatrofisma Pra  Tersier  yang diikuti dengan aktivitas pembentukan batuan beku. Di pegunungan Cyclope utara tersingkat batuan-batuan  ofiolit berupa serpentinit dan gabro yang diintrusi oleh batuan plutonik asam (diorit dan granit). Di Vogelkop intrusi granit mengalami metamorfosa kontak dengan endapan-endapan berumur Yura yang teralterasi. Bagian tengah New Guinea mengalami penurunan geosinklin sejak zaman Silur. Aktivitas geosinklin pada zaman Oligosen tidak memunculkan batuan vulkanik. Aktivitas vulkanik baru hadir selama  Miosen, berikut intrusi batuan plutonik monsonit, syenodiorit, diorit, granodiorit, granit dan lainnya. Akhirnya morfologi saat ini dibentuk akibat aktivitas vulkanisma selama Kwarter.    

Pulau Christmas

Pulau ini terdiri dari batuan dasar berupa batuan vulkanik bersifat basa dari afinitas Atlantik berumur Tersier. Komposisi batuan beku berhubungan dengan aktivitas vulkanik lainnya yang berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hinidia. Yang membedakan dengan kepulauan Indonesia adalah kehadiran alkali kapur dari seri Pasifik yang dominan.   

2. Evolusi Magmatik dan Orogenesa

Tinjauan terhadap hubungan antara orogenesa dan aktivitas batuan beku di kepulauan Indonesia akan mengikuti kecdenderungan aturan umum. 
 1.    Batuan-batuan dengan afinitas Atlantik berada di luar jalur orogen. Erupsi akan terjadi selama tahap awal proses penurunan cekungan geosinklin, sebagai awal pembentukan pegunungan. 
2. Siklus pembentukan pegunungan dimulai dengan penurunan geosinklin. Pada pusat geosinklin diatrofisma terbentuk. Orogenesis memencar secara radial sebagai gelombang permukaan yang besar (Anambas, Banda).
3. Batuan-batuan ofiolit dengan komposisi basa dan ultrabasa dierupsikan dari cekungan muka busur dari gelombang permukaan tersebut. Gunungapi bawah laut ini berasosiasi dengan rijang radiolaria dan endapan-endapan laut dalam.  
4.  Setelah perioda penurunan geosinklin berlangsung (dalam jutaan atau puluhan juta tahun) muka busur melengkung ke atas membentuk struktur geantiklin. Secara umum beberapa peristiwa pengangkatan terjadi, dan disisipi oleh fase penurunan yang tenang. 
5.   Pengangkatan geantiklin jalur orogen secara umum menghadirkan batuan non-vulkanik, yang selanjutnya diikuti oleh aktifitas vulkanik orogen dengan  batuan-batuan alkali-kapur dari afinitas Pasifik. Hanya geantiklin termuda dari Sistem Pegunungan Sunda dan Filipina yang menunjukkan cekungan samudra selama terjadi pengangkatan. Tahap akhir dari evolusi jalur orogen selalu menghadirkan batuan beku potasik dengan afinitas Mediteran.  
6. Setelah melewati beberapa fase diatrofisma dengan berbagai pengaruh intrusi dan ekstrusi batuan beku, jalur orogen terkonsolidasikan menjadi kerak yang kaku seperti karakter kontinen. Fokus diatrofisma yang asli akhirnya terkonsolidasikan ke blok kerak yang kaku, yaitu pada jalur  orogen yang telah menyebar radial setahap demi setahap ke seluruh busur. 
 7. Jalur orogen ini, yang berada di sekitar daerah diatrofisma tua yang telah terkonsolidasi, dapat dibedakan dari busur dalam vulkanik dan busur luar non-vulkanik  melalui struktur lipatan sentrifugal. Daerah yang terkonsolidasikan dapat membentuk peneplain di bawah permukaan, atau berada di bawah kerak utama sehingga mencapai kedalaman beberapa kilometer di bawah permukaan laut.    
8. Di sepanjang tepi Sistem Dataran Sunda basal olivin dierupsikan pada zaman Kwarter (Midai, Niut, Murai, Beluh, Karimunjawa, Sukadana).   

3. Asal Batuan beku

Sulit menguraikan hubungan timbal balik antara berbagai gejala tektonogenesis, vulkanik, anomali gravitasi dan gempabumi, apabila tidak mempunyai hipotesis kerja tentang asal mula magma. Penting melalukan penafsiran evolusi dan merekontruksi hubungannya agar mampu mempunyai konsep yang umum mengenai asal mula batuan beku, yang selaras dengan semua hal yang berhubungan dengan geologi, vulkanologi dan geofisika. Sebagian besar teori geotektonik yang diusulkan di masa lalu melalaikan sisi ini. Nampaknya evolusi geokimia bumi mempunyai arti penting bagi evolusi orogen ( van Bemmelen, 1948).  

Problem Granit

Asal mula granit menjadi topik hangat pada setiap dikusi. Tulisan mengenai hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Grout (1941), P. Niggli (1942), Reinhard (1943), Read (1943), Holmes (1945), Backlund (1945), Raguin (1946), Reynolds (1947), Eskola (1948), Glangeaud (1948), Bowen (1948), Brouwer (1947), King (1947), Nieuwenkamp (1948).   Ada dua pendapat yang saling berlawanan. Pertama, granit berasal dari erupsi efusif magma yang mengintrusi kerak bumi. Teori ini berdasarkan penelitian kimia-fisika pelelehan silikat di laboratorium. Bowen, Nigli dan peneliti lain mengeluarkan teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi. Berdasarkan teori ini magma granit berasal dari magma induk yang lebih basa dari komposisi basal. Faktor utama dari diferensiasi adalah kristalisasi dan fraksinasi dibawah pengaruh gaya gravitasi. Konsep ini tidak dianggap bertentangan dengan klasifikasi klasik tentang batuan beku menurut Rosenbusch. Asal mula magma granit ini diadopsi oleh sebagian besar ahli petrologi.Konsep lain mengikuti alur pemikiran yang dikemukakan oleh ahli petrologi Perancis  Ami Bout, Fournet, Ter­mier, Lacroix, Perrin. Roubault, Lelubre, Raguin (1946). Konsep ini menyatakan bahwa magma bermula dari aktifitas pancaran pada pra kondisi batuan (­pra-existing rocks). Menurut pendapat ini granit berasal dari pra kondisi batuan yang berasal dari komposisi kimia dan mineralogi yang berbeda akibat introduksi dan perubahan unsur dalam jumlah yang besar. Proses granitisasi ini terjadi dalam bentuk padat, tanpa melalui bentuk magma granit. Migrasi material terjadi secara difusi (Ramberg, 1944; Bugge, 1945; Wahl, 1946, dll.). Dalam tahun-tahun berikutnya beberapa petrologis Inggris, Scandinavia dan negara lainnya mengikuti teori ini. Teori ini berdasarkan riset kimia fisika tentang difusi dan reaksi intra-kristalin dalam kondisi padat, menggantikan reaksi silika cair. Teori granitisasi ini menempatkan granit pada kelompok batuan metamorf. Granit menurut konsep tersebut adalah hasil metamorfisma lanjut.Teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi memberikan klasifikasi batuan beku dan proses-proses yang berhubungan dari pnematolitik dan metamorfosa hidrotermal dalam aura kontak. Tetapi studi mengenai hubungan batuan beku di lapangan dan perubahannya menjadi batuan metamorfik telah memunculkan keraguan dan pantas dipertimbangkan. Kebenaran dari konsep asal mula batuan beku harus melalui langkah magmatisma nyata. Reinhard (1943) menjelaskan hubungan ini, ”Alam tidak mengambil isyaratnya dari teori, tetapi kita yang harus menyesuaikan teori kita ke alam. Ketika observasi geologi lapang bertentangan dengan magma induk batuan beku, kita perlu mencari kemungkinan lainnya”.  

Kontroversi Antara Magmatists dan Transformists

Sekian lama setelah Hutton meninggal (1797) beda pendapat tentang mencari kebenaran antara Volcanists dan Neptunist, yaitu kontroversi antara Magmatist dan Transformist, masih terjadi. Pangkal permasalahnnya adalah tentang keberadaan granit. Dalam pemahaman lama mengenai kristalisasi, batuan yang dicairkan merupakan proses yang bisa menjelaskan asal granit. Pendapat lainnya adalah difusi dalam kondisi padat. Alterantif lain adalah kristalisasi ulang dalam status sedimental padat, sebagai perubahan kimia fisika yang disempurnakan oleh difusi melalui kenaikan suhu dan statusnya yang padat.Oleh karena itu pertanyaan pertama yang harus dipecahkan dan penjadi postulat para magmatis adalah melihat magma sebagai magma sebenarnya yang merupakan cairan silikat. Karakter plutonik granit bukanlah suatu jaminan asal magma. Pernyataan behwa batuan plutonik merupakan hasil kristalisasi magma adalah suatu hipotesis murni. Jawaban atas pertanyaan ”apakah magma?” dalam pandangan kaum ortodok adalah suatu cairan pijar berupa larutan molekular dengan komposisi utama silika, dengan unsur-unsur yang mudah menguap, terutama air, yang mendorongnya bersifat mobile. Dalam konsepsi modern, magma dipahami seperti bubur beras (”milky rice pudding”), campuran kristal dan air. Magma ini tidak terlalu berbeda dengan konsep sekarang.  Menurut konsepsi ortodok, asal granit berasal dari intrusi magma dan mengalami kristalisasi sebagian; sementara fase berikutnya menyebabkan metamorfosa yang melibatkan batuansamping dan merubah komposisinya. Konsep ini nampaknya tidak cukup. Setidaknya untuk kasus Indonesia. Secara teoritis terdapat 3 jenis granit:
(1) granit juvenil, yang dibentuk oleh kristalisasi dan deferensiasi magma, 
(2) granit palingenetic, yang dibentuk oleh anatexix (peleburan) dari batuan dengan komposisi kimia seperti granit (serpih, geneis, batupasir, granit) atau oleh pencampuran batuan yang berbeda komposisi, 
(3) granit metasomatik, yang dibentuk oleh proses metasomatis dari batuan tua, yang dapat dikenali dengan adanya struktur palimsest. Ketiganya ada dialam ini, tetapi tidak ada ukuran yang tepat untuk masing-masing batuan granit tersebut. Pada saat ini batuan plutonik tersingkap dengan berbagai asal kedalaman, dan granit relatif melimpah. Kita harus mengasumsikan bahwa magma induk (parental) basa harus berada lebih dalam daripada tingkat denudasi. Kita hanya dapat meneliti batuan plutonik, tersingkap sebagai intrusi pada kerak bumi; itu merupakan hasil interaksi dari magma induk bagian atas. Kita tidak dapat meneliti magma plutonik. Untuk menyatakan bahwa batuan plutonik itu berasal dari suatu magma adalah tidak lebih dari sebuah hipotesis yang memerlukan bukti dukungan.Reinolds (1947) menyatakan bahwa banyak kejadian yang membuktikan bahwa pembentukan granit dapat berlangsung melalui transformasi bentuk pada pra kondisi batuan. Alterasi metasomatik progresif memungkinkan merubah bentuk batuan plutonik menjadi lebih asam dan mempunyai kristal lebih kasar. Menurut Hou dan Harwood (1937) konsentrasi energi untuk magmatisasi secara lengkap oleh pancaran adalah suatu konsekuensi dari beberapa faktor: tingkat energi yang memancar, reaksi eksoterm dengan material yang dikenai, serta temperatur setelah proses. 

Sementara Hausas (1944) menafsirkan bahwa proses magmatisasi dari metasomatisme memerlukan keseimbangan: 
(1) pancaran yang datang, 
(2) asal energi, 
(3) material kerak bumi, dan 
(4) pancaran lain. 
Proses granitisasi selalu disertai dengan proses basifikasi atas batuan itu. Bahkan kehadiran granit akan lebih sedikit. Ini disebabkan komposisi endapan geosinklinal lebih banyak mengandung unsur basa dibanding granit. Proses granitisasi dan basifikasi dikenal pula sebagai diferensiasi metamorfosa, yang merupakan hasil difusi metamorfosa.   

Beberapa Massa Granit Plutonik di Indonesia

Orogenesis di Kepulauan Indonesia diikuti oleh intrusi seperti batolit granit  sebagai inti geantiklin. Granit ini berumur Permo-Triassic sampai Tersier akhir, sedemikian sehingga mereka menyebar secara berangsur lebih muda di jalur  orogenesa dari pusat diastrofisma yang berbeda.Di pusat orogenesa pasti mempunyai tahap diatrofisma dan granit yang paling tua, kemudian gejalanya menjadi lebih muda ke arah busur sebelah luar. Perkecualian dibentuk oleh granit Sumba berumur Mesosoikum. Di dataran Sunda sebaran massa plutonik dari yang bagian dalam ke sebelah luar sudah jelas. Poros Daratan Sunda dibentuk oleh jalur  Anambas-Schwaner yang berumur Permotrias. Perjalanan ke utara dari poros ini, ditemukan pertama Zona Natuna-Semitau dengan umur lebih tua, sekitar Trias. Di Seberuwang didapatkan diorit  berumur Kapur Akhir. Di Ketungau batuan berumur Tersier Tengah diduga diorit. Granodiorit berumur Tersier tengah juga di Kalimantan Utara (Kinabalu), yang belakangan menjadi anggota busur orogenesa Pilipina. Intrusi diorit di daerah Telen Kalimantan Timur menduduki suatu posisi terisolasi. Mereka mungkin menjadi anggota Zona Semitau. Dari zona Anambas-Schwaner ke arah selatan dijumpai  granit Malaya berumur Yura di Kepulauan Riau-Lingga, Bangka, Billiton, Karimata Pulau dan Kalimantan Barat. Zone ini  dapat dibagi menjadi dua jalur. Di bagian dalam cebakan timah jarang dijumpai, dan sebelah luar  membentuk jalur timah.Di Sumatra busur bagian dalam dari  Sistem Pegunungan Sunda terdapat jalur  dengan massa seperti granit di unit terlipat. Jalur berumur Kapur akhir ini meluas dari timur melalui Pulau Jawa ke Flores.  Di Ambon, Kaibodo, Manipa dan Kellang tempat busur Banda ini berakhir dijumpai batuan seperti granit berumur Tersier Tengah.Dari Kalimantan ke timur kita bertemu granit berumur Kapur  Meratus, dan kemudian granit berumur Tersier di Sulawesi utara. Distribusi granit ini betul-betul menyatakan bahwa telah ada suatu pertumbuhan granit sejak Mesosoikum dari Anambas-Schwaner ke arah Sistem Pegunungan Sunda. Di bagian pusat sekarang membentuk kerak bumi yang kaku seperti karakter kontinental.  Intrusi granit terjadi secara bertahap sesuai evolusi orogenesa. Pada puncak dari  geantiklin kita temukan aktivitas jenis magma volkanis seri Pacific, dengan komposisi basalik-andesit. Aktivitas ini di dalam jalur geantiklin  didahului oleh tekanan dan intrusi ofiolit  di geosinklin;  langkah-langkah berikutnya terjadi evolusi orogenesa dan magma Mediteran. Oleh karena itu diperlukan  memandang masalah dari  asal granit Kepulauan Indonesia dalam hubungan dengan formasi dari  asal magma  granit.  

Asal Berbagai Variasi Magma Di Indonesia

Di Indonesia terdapat berbagai rangkaian batuan beku. Hubungan satu dengan yang lainnya dapat dicermati.Tahap pra orogen berupa pembentukan suatu cekungan geosinklin di selama Palaesoikum. Proses ini termasuk yang terjadi di Timor oleh erupsi traki basal dari seri Lautan Atlantik (De Roever, 1940). Tahapan ini diikuti oleh suatu evolusi orogen di dalam geosinklin selama Mesosoikum, Tersier dan Kwarter sebagai proses pembentukan jalur geantiklin dan cekungan geosinklin. Secara bertahap jalur orogen ini menyebar keluar pusat cekungan geosinklin. Foredeep melengkung atas ke dalam suatu geantiklin dan bergeser keluar lebih jauh. Selanjutnya pada dasar cekungan orogen, ofiolit basa sampai ultrabasa mengalami ekstrusi dan intrusi dari asosiasi ofiolit radiolaria dan intrusi peridotit dan serpentinit. Selama proses pembentukan geantiklin batuan ofiolit bercampur dengan naiknya migmatit sehingga dasar tubuh batolit granit terjadi. Biasanya terdapat tiga atau lebih gerakan pengangkatan pada setiap jalur orogen. Pengangkatan pertama masih  bukan batuan volkanik, pengangkatan kedua kedua  proses erupsi lava basa, menengah maupun asam, dari seri lava Pasifik, dan langkah ketiga vulkanik padam. Masing-masing pengangkatan diikuti oleh intrusi batuan plutonik berkomposisi menegah dan asam. Tahap lanjut dari evolusi jalur orogen ini adalah hadirnya erupsi batuan tipe Mediteran. Akhirnya tahap akhir orogen sebagai tahap pembentukan kontinen terbetuk. Dataran Sunda telah dikonsolidasikan oleh tahap diastrofisme Mesosoikum Tua, sedang proses pembentukan pegunungan berlanjut bergeser ke keluar membentuk orogen jalur Sunda saat ini.  Pusat Datara  Sunda sekarang membentuk baselevel sebagai suatu peneplain khas. Pada akhir Kwarter di sepanjang tepi blok yang terkonsolidasi ini terjadi aliran lava basal olivine.Cakupan batuan beku begitu luas dan sangat berkaitan dengan evolusi kerak bumi. In memberi kesan  bahwa peristiwa yang berkaitan dengan proses yang terjadi pada pembentukan batuan beku merupakan hal penting dalam proses pembentukan pegunungan. Pertanyaan selanjutnya, dengan demikian, sebenarnya adalah, dalam hal ini  mana magma juvenile dan mana magma induk? Kelihatannya hanya erupsi awal basal trakitik yang dapat diperlakukan seperti itu. Pra kondisi kerak bumi berkomposisi sialik berumur Perm harus diikuti oleh kekar dan patahan utama agar magma di bawah permukaan dapat hadir ke permukaan. Steinmann, Kossmat, dkk mempertimbangkan ophiolites berasal dari magma juvenil. Tetapi peridotites, di Sulawesi Timur  mengalir ke permukaan dengan tenang dan menggantikan seluruh komplek batuan dasar yang kristalin. Dia tidak diproduksi oleh diferensiasi kristalisasi dari intrusi basal yang sangat besar, sebab mereka secara langsung ditimpali oleh endapan bawah laut berumur Kapur yang berumur sama dengan intrusi tersebut. Di Seram Barat, Manipa dan Kellang  bagian intrusi tersingkap. Situasi yang sama ditemukan di Kawasan Meratus, ketika  tubuh peridotit secara berturut-turut diintrusi dan digantikan (replace) oleh gabro, diorit, diorit kuarsa dan granit plagioklas. Situasi ini justru kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi  pada kasus diferensiasi kristalisasi dan fragsinasi. Batuan menjadi lebih asam dengan terus bertambahnya kedalaman. Anomali isostatik negatif di Sulawesi Timur dan Seram menunjukkan bahwa peridotit menandakan adanya masa peridotit yang sekarang mendasari kaki pegunungan granit.Situasi ini mendorong ke arah pemikiran bahwa pada seri batuan basa sampai ultrabasa dari geosinklin berukuran sangat besar, bagian permukaannya merupakan akumulasi magma asam (granit). Ini merupakan hasil berbagai proses evolusi kimia di bagian permukaan kerak bumi.  Proses hypo-differentiation tersebut merupakan hasil gangguan keseimbangan lapisan tengah basal tectonosphere karena penurunan  cekungan. Penurunan cekungan menyebabkan terjadinya pembebasan tekanan akibat relief, sekaligus terjadi peningkatan gradien geotermal di lapisan dasar dan menengah. Dengan proses hypo-differentiation tersebut, dalam waktu berjuta-juta tahun, kerak basal akan terbagi-bagi menjadi batuan ultrabasa (anti root) dan granit (mountain-root).Mengenai gunungapi strato dapat dipahami sebagai konsentrasi saluran-saluran dari  peningkatan pancaran  dalam jumlah yang besar dari bagian magma yang mudah menguap. Gunungapi itu merupakan cerobong di atas intrusi batolit. Kita tidak bisa bayangkan pernah magma juvenil bisa naik menerobos astenolit dan membuat zona migmatit selama tahapan evolusi geantiklin dari suatu jalur orogen. Kedalaman intrusi dari batolit granodiorit Tersier Tengah pasti tidak lebih dari 2 km, dan granodiorit Tersier Akhir di Wetar dan Lirang mungkin lebih tinggi. Pada kasus erupsi paroksismal Kwarter Ranau dan Toba di Sumatra, bagian puncak intrusi granit diledakkan. Oleh karena itu magma palingenic Pacific mungkin dibentuk dekat di bawah permukaan. Intrusi dangkal ini berasimilasi dengan batugamping Tersier, sehingga menyebabkan menyimpang dari kebiasaan (menghasilkan produk letusan Mediteran. Akhirnya, setelah konsolidasi dari kerangka batuan beku jalur orogen ini, kekar utama memotong kerak bumi sampai ke lapisan magma. Erupsi efusif basal olivine dari Daratan Sunda  lekat menyerupai batuan basal dari  jalur orogen. Mereka dicemari oleh material kerak. Oleh karena itu magma induk riil mungkin lebih banyak trakit basal.  Ringkasan ini memberi kesimpulan utama dari  diskusi di depan. Kita adalah sungguh sadar akan fakta bahwa sebagian dari aktivitas batuan beku berbeda dari  konsep petrologi “klasik”. Tetapi kita sudah mencoba untuk mempertimbangkan dan menghubungkan dengan gejala geofisika dan geologi yang mengikuti evolusi batuan beku ini, untuk memberi suatu sintesis berdasarkan fakta mengenai gambaran umum tentang evolusi orogen. Sintesis ini berdasar pada teori geosinklin dari Hall dan Dana. Baru-baru ini Knoff (1948) telah memberi suatu tambahan ringkasan teori ini. Doktrin geosinklin adalah suatu prinsip dasar dalam ilmu pengetahuan geologi, dan sangat bernilai untuk penafsiran evolusi orogen di Indonesia. Di kepulauan ini kita temukan banyak contoh perubahan bentuk jalur geosinklin ke dalam rantai pegunungan. Lebih dari itu, kita dapat melacak evolusi ke samping daerah ini dari jalur orogen lebih tua ke dalam yang lebih muda, serta hubungan antara jalur orogen dan aktivitas batuan beku, isostasi, dan seismisitas. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa sejarah yang berhubungan geologi, baik permukaan bumi maupun planet kita ini secara keseluruhan, tidak cukup memberikan informasi tanpa mempertimbangkan evolusi geokimia.  

* Terjemahan bebas dari sumber pokok The Geology of Indonesia, Government printing office, Netherland: The Hague,  Van Bemmelen, R.W. 1949, hal 224 – 256.
sumber:http://geohazard.blog.com
Readmore »»