Budaya keyakinan (Cultural beliefs)
Hubungan antara orang Jawa dan lingkungan gunung api (vulkanik) sangat kuat. Desa ini merupakan tempat tinggal mereka sejak lahir dan tumbuh berkembang juga merupakan tempat tinggal orang-orang dari nenek moyang mereka. Orang-orang ini relatif tidak suka berpindah karena itu sangat melekat pada desa kelahiran mereka (Koentjaraningrat, 1985). Untuk alasan itu, orang sering segan untuk mengevakuasi dan / atau terburu-buru untuk kembali pulang setelah diminta untuk menyingkir oleh otoritas setempat setelah terjadinya aktifitas gunung api.
Sumbu Merapi-Parangkusumo. Patahan lama dari Merapi ke Bantul, yang aktif saat gempa Mei 2006, sejajar dengan sumbu suci utara-selatan antara Merapi dan pantai Parangkusumo. Adanya patahan lain dari Gunung Merapi ke Gunung Lawu dapat menjelaskan mengapa Lawu merupakan elemen penting keempat dalam merepresentasikan Jawa. (Sumber Lavigne dkk, 2008) |
Kenyataan setempat ini juga dikondisikan oleh keyakinan yang lebih dalam berkaitan dengan representasi mental dari gunung berapi. Di Sumatera orang Batak orang di sekitar Mt. Sibayak, Mt. Sinabung dan Danau Toba adalah keturunan dari komunitas mantan berlayar, seperti yang terlihat dalam bentuk atap rumah tradisional mereka. Oleh karena itu, risiko vulkanik kurang-hadir dalam kepercayaan tradisional mereka daripada di Jawa, di mana representasi dunia berpusat pada gunung berapi. Meskipun zaman modern saat ini masyarakat Islam Jawa telah menggantikan budaya-masing-masing sebelumnya dan telah menambahkan ke arah kenyataan kebenaran, setengah kebenaran dan mitos, Hindu dan Budha cosmogonies masih tetap hidup.
Upacara "labuhan" Merapi Agustus 2006 |
Kompleksitas spiritualitas sinkretis memainkan peran penting dalam membentuk reaksi terhadap kejadian sekitarnya. Di sekitar lereng gunung berapi di mana Islam cukup kuat seperti di Dieng, beberapa pemimpin agama mengklaim bahwa letusan adalah peringatan dari Tuhan tentang kejahatan-kejahatan minum minuman keras kuat atau dosa-dosa lain seperti pelacuran. Ide-ide serupa juga menyebar oleh penginjil setelah letusan Gunung Saint-Helens pada tahun 1980 (Blong, 1984), atau di Banda Aceh setelah 26 Desember 2004 tsunami. Didaerah lereng Merapi, beberapa desa di dekatnya tidak percaya pada ilmu pengetahuan modern dan pemerintah, dan lebih mempercayai mitologi Jawa kuno (Schlehe, 1996).
Legenda
Hampir semua gunung berapi Indonesia memiliki legenda mereka sendiri, yang biasanya melibatkan dewa-dewa, pangeran dan putri, dan manusia (Mathews, 1983). Dalam kosmologi Jawa, yang kudus dan yang profan yang dimasukkan ke dalam suatu kerangka konseptual tunggal. Pentingnya hubungan antara unsur-unsur alami umumnya dipahami dalam hal skema biner yang saling melengkapi tetapi berada pada ruang yang saling berseberangan, keduanya dihubungkan oleh hubungan pertukaran. Contoh terbaik dari hubungan ini adalah polaritas gunung berapi-laut dimediasi oleh sungai yang dilalui bukit-bukit dan dataran di antara keduanya.
Dalam kosmogoni Jawa, Samudera India adalah rumah dari Ratu Kidul, Putri Selatan, yang terkenal untuk mempengaruhi aktivitas Merapi. Kutub berlawanan biasanya dihubungkan oleh sebuah garis rohani, yang sering berhubungan dengan patahan aktif. pola pemukiman adat biasanya berasal dari fitur kosmologi atau hubungan ideal. Seringkali keduanya terhubung bersama dalam skema pemerintahan tunggal.
Dunia Wayang Kulit, memiliki ciri khas yang terkenal yang merupakan gunung khayalan yang dinamakan Gunungan (gunung) atau Kayon (pohon). Kayon menunjukkan dua wajah yang berlawanan: Pohon Kehidupan, dan Pohon Kematian. Kedua wajah-pohon gunung berapi dari pohon kehidupan dan kematian-terwakili dalam kata Korban Jawa dan bahasa Indonesia. Kata ini berarti baik korban dan pengorbanan. Ketika penduduk desa yang tidak tercela, mereka menafsirkan kehancuran dari letusan oleh fakta bahwa gunung berapi perlu mempersiapkan resepsi.
Pola pembangunan pedesaan.
Pola desa ideal di Indonesia diambil dari Riggs (2003). Pembangunan candi Buddha Boroburur dan Mendut candi di Jawa Tengah didasarkan pada polaritas gunung-laut ideal.
Pola pedesaan/perkotaan mereka dibangun di atas garis spiritual di mana candi yang lebih kecil lainnya terletak diantara Merapi dan laut. Ini simbolis gunung kosmik telah digunakan oleh kuil-kuil Hindu dan Buddha, yang dianggap sebagai titik pertemuan antara para dewa dan manusia (Boomgaard, 2003, p 301; Dumarcay, 1986, p 88-91, Sevin, 1992, p 117). Kraton, tempat tinggal sultan, juga dibangun di sekitar sumbu otoritas, yang mencerminkan polaritas gunung-laut. Di Yogyakarta, ini adalah sejajar sumbu utara-selatan (gambar diatas) sedangkan di Jepara itu sejajar timur barat untuk berhubungan tepat ke gunung paling suci di wilayah tersebut. Desa-desa Bali dibangun dengan konsep kosmologi yang sama.
Gunung Merapi, teraktif didunia
Gunung Merapi berada di Pulau Jawa pada rangkaian gunungapi aktif sebelah selatan, Gunung Merapi merupakan gunungapi tipe stratovolcanoes, yaitu gunungapi berlapis. Selama dua abad terakhir, aktivitas Gunung. Merapi telah berganti-ganti secara teratur antara periode panjang kubah lava ekstrusi kental dan episode ledakan singkat pada interval 8-15-tahun, yang menghasilkan kubah runtuh aliran piroklastik dan menghancurkan bagian dari kubah yang sudah ada sebelumnya. Episode kekerasan eksplosif sering kambuh rata-rata setiap 26-54 tahun telah menghasilkan aliran piroklastik, aliran awan panas, jatuhan tephra, dan lahar hujan berikutnya (Thouret dkk, 2000.). Sebanyak 61 erupsi dilaporkan telah terjadi sejak pertengahan tahun 1500-an dan menewaskan sekitar 7000 orang. Setidaknya satu keruntuhan besar bangunan gunungapi telah terjadi di tahun 7000 lalu (Newhall et al, 2000.) Atau lebih mungkin antara 10.000 dan 12.000 BP, ketika danau terbentuk di sekitar candi Borobudur ini (Gomez et al., 2006).
Desa-desa pun berada dekat puncak Merapi
Pada tahun 1995, Gunung Merapi telah menjadi penyokong kehidupan sekitar 1,1 juta penduduk di 300 desa yang berlokasi lebih tinggi dari 200 meter diatas muka laut. Di antara mereka, terdapat 440.000 orang berisiko tinggi di daerah rawan aliran piroklastik, luncuran awanpanas, dan lahar (Lavigne, 1998). Gunung berapi ini adalah salah satu gunung yang paling sering diamati dan dipelajari di dunia.
Sebuah riset telah dilakukan untuk menganalisis perilaku masyarakat, meliputi pengetahuan bahaya dan persepsi risiko sebelum, selama dan setelah dua letusan Gunung. Merapi. Aliran piroklastik terjadi di Sungai Boyong pada bulan November 1994 dan di Sungai Gendol pada bulan Juni 2006 (lihat gambar). Sebelum tahun 1994 aliran piroklastik kubah runtuh dan menimbulkan awanpanas yang menewaskan 69 orang di Desa Turgo, penduduk yang hidup di sepanjang Sungai Boyong tidak mengetahui adanya bahaya di desa mereka ([Schlehe, 1996] dan [Schlehe, 2007]). Wawancara dengan responded kunci yang hidup di sepanjang Sungai Gendol menunjukkan perasaan serupa hingga kubah 2006 runtuh pada lembah Gendol ini. Diskusi dengan masyarakat setempat membuktikan bahwa selang waktu sejak terjadinya aliran piroklastik terakhir pada awal abad ke-20 adalah salah satu penyebab utama untuk kejadian jatuhnya korban ini, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan bahaya dalam kedua kasus. Namun, lebih dari 8 tahun setelah letusan 1994, sebanyak 93% dari penduduk desa yang diwawancarai di Turgo berpikir bahwa mereka tidak akan terpengaruh oleh letusan Gunung masa depan. Merapi (De Coster, 2002 B. De Coster, Persepsi des Risques Naturels nominal Populasi sur les les Flancs du Volcan Merapi, Java-Centre, IndonĂ©sie DVD Film. 35 ‘+ Laporan (2002) De Coster., 2002).
Catatan “Tulisan diatas ditulis tahun 2008, pasca 2006 tetapi sebelum erupsi 2010″. Kemungkinan pada letusn 2010 masyarakat Cangkringan dan sekitarnya tidak menyadari adanya bahaya yang mengancam mereka”
Perasaan aman ini mungkin dipengaruhi oleh kendala visual antara desa dan lubang ventilasi kepundan yang aktif. Berdasarkan survei lapangan pada tahun 1994-1995 dan 2006, masyarakat lokal dan desa Turgo Kaliurang yang merasa dilindungi oleh bukit Turgo dan Plawangan sebelum dan pada awal letusan 1994. Sebelum letusan Gunung Merapi Mei 2006, responden lokal yang tinggal di sepanjang Sungai Gendol berpikir bahwa mereka dilindungi oleh sisa kubah lava 1910 yang disebut Geger Buaya. Sayangnya, peningkatan volume kubah lava baru telah menyebabkan Geger Buaya runtuh pada tanggal 4 Juni 2006. Empat hari kemudian, aliran piroklastik mulai memasuki lembah Gendol.
Perlu dicatat, pada erupsi 2010, lokasi Tlogoputri di Kaliurang terkena awanpanas dari arah Kali Kuning disebelah timur. Hal ini disebabkan Kalikuning sudah penuh oleh endapan piroklastik.
Meskipun memiliki kesadaran cukup baik tentang ancaman vulkanik, masyarakat setempat sering menganggap risiko ini dapat diterima, karena mereka merasa di bawah lokasi yang diperkirakan berrisiko (Renn dan Rohrmann, 2000). Mereka tidak memperkirakan kemungkinan aktivitas gunung berapi terjadi akan membahayakan mereka. Barangkali ini disebabkan oleh pengetahuan tentang proses vulkanik.
Sebagai contoh, ketika terjadi letusan tahun 1994 warga sekitar Gunung Merapi, beberapa orang terdengan berteriak “lahar, lahar …” ketika mereka melihat aliran piroklastik memasuki lembah Boyong; mereka sadar akan bahaya gunung api. TETAPI tidak menyadari bahwa piroklastik mampu mengalir melonjak naik di atas bukit-bukit kecil. Juga pada tahun 2006, mereka tidak berpikir bahwa kubah lava tua akan runtuh. Responden ini mengakui bahwa mereka tidak menyadari bahwa bahaya vulkanik dan saluran rentan terhadap aliran piroklastik dapat berkembang dari waktu ke waktu, kecuali jika mereka telah mengamati dinamika visual tersebut.
Catatan pada erupsi 2010 ini tidak hanya Gegerbuaya yang runtuh tetapi dinding selatan gunung Merapi robek menyebabkan aliran prioklastik sejauh 15 Km dari puncaknya.
Kisah ini terulang dan terjadi sangat mengenaskan pada erupsi tahun 2010. Seperti yang didingengkan sebelumnya tentang terjangan awanpanas di daerah Kinahrejo disini. Rumah Mbah Maridjan-pun terkena awan panas.
Budaya dan persepsi risiko
Seperti yang telah diamati pada Sumbing, Sindoro, dan gunung berapi Dieng, lingkungan budaya dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dan persepsi risiko. Sekitar Gunung Merapi, keyakinan agama telah animis, Hindu, Buddha dan pengaruh Islam. Pengaruh agama adalah jelas dalam proporsi besar orang (97% dari mereka yang disurvei) yang berpikir bahwa kerugian aktual dan potensial yang terkait dengan letusan gunung berapi berada di bawah kendali kekuatan ilahi (De Coster, 2002). Terutama di Jawa, kultus roh, pemujaan leluhur, penyembuhan semangat dan bentuk shamanistic (‘dukunisme’). Tradisi mitos yang dikenal luas dan mendapat banyak dukungan rakyat, khususnya di daerah pedesaan ([Triyoga, 1991], [Schlehe, 1996], [ Schlehe, 2007], [Dove, 2007] dan [Dove, 2008] ).
Pada tanggal 22 November 1994 letusan Gunung Merapi menimbulkan revitalisasi spontan mitos tua dan kepercayaan mistik dan memberikan dorongan pada pemerintah untuk melakukan upaya pemindahan penduduk agar berpindah ke tempat yang lebij jauh. Bagi penduduk desa yang tinggal di lereng Gunung Merapi maupun penduduk Yogyakarta menganggap letusan bukanlah sebagai bencana. Melainkan dipahami sebagai peringatan dari dunia supernatural (Schlehe, 1996). Akibatnya banyak orang yang tinggal dekat dengan sungai Boyong dan Gendol tidak takut. Kegiatan rutin gunung berapi ini telah benar-benar terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, dan telah menjadi bagian informal bagi rakyat yang tinggal disitu. Gunung Merapi telah dipersonifikasikan sebagai: “Mbah Merapi”-Mbah berarti kakek atau nenek-milik dunia manusia. Alih-alih dianggap sebagai sumber bahaya, gunung berapi diangap sebagai milik umum dihormati oleh semua penduduk desa. Istilah Jawa wedhus gembel (aliran piroklastik) dianggap sebagai kurang sopan bagi sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan koreksi bahwa Merapi sedang buang hajad. Dalam ekspresi bahasa Indonesia, yaitu untuk mengusir kotoran, seperti manusia lakukan.
Tokoh masyarakat dan presepsi bahaya
Mbah Maridjan |
Ada dua tokoh adat dalam agama Jawa tradisional (Kejawen): sultan Yogyakarta dan Juru Kunci. Juru Kunci adalah pemegang kunci dari gunung berapi. Ia berkomunikasi dengan roh-roh yang menjaga gunung. Di lereng Gunung. Merapi, masyarakat lokal menaruh kepercayaan mereka di Juru Kunci lokal, Mbah Marijan. Selama letusan Merapi terakhir pada bulan April 2006, Marijan menolak untuk mengungsi meski ia mendukung evakuasi untuk orang lain. Ia mendapatkan berhubungan dengan roh leluhur sembilan (pepundhen) setelah 3 hari meditasi untuk meminta Mt. Merapi untuk membatasi tingkat kerusakan. Orang ini hampir 80 tahun terus menerus menerima parade pengunjung mencari informasi tentang gunung di rumah kecil di desa Kinahrejo. Dia ditunjuk oleh sultan untuk melaksanakan “ruwatan/perawatan” tahunan kepada gunung berapi, tradisi abad-lama (Triyoga, 1991). Kehadiran rumah Juru Kunci di Kinarhejo sebagian menjelaskan penolakan untuk mengevakuasi penduduk sebelum letusan 2006 Gunung. Merapi, meskipun evakuasi telah diperintahkan oleh otoritas. Jarak antara desa dan rumah Juru Kunci di Kinahrejo (Umbulharjo, Southeastern sisi gunung. Merapi) pengaruh jenis persepsi risiko. Memang, orang yang hidup dekat dengan Kinahrejo terutama kepercayaan Juru Kunci dan merasa dilindungi, sedangkan orang-orang yang tinggal jauh dari dia di jarak yang sama dari kawah (misalnya di desa Tungularum, Wonokerto, pada sisi Baratdaya Gunung Merapi.) mungkin berkurang kepercayaan pada kesaktiannya.
Sumbu Merapi-Parangkusumo. Patahan lama dari Merapi ke Bantul, yang aktif saat gempa Mei 2006, sejajar dengan sumbu suci utara-selatan antara Merapi dan pantai Parangkusumo. Adanya patahan lain dari Gunung Merapi ke Gunung Lawu dapat menjelaskan mengapa Lawu merupakan elemen penting keempat dalam merepresentasikan Jawa. (Sumber Lavigne dkk, 2008) |
Sebenarnya, meskipun banyak orang yang tinggal di lereng gunung api masih memiliki keyakinan animisme dan menyembah dewa spiritual, kebanyakan dari mereka juga mendengarkan pemerintah daerah dan para ilmuwan. Ketika dibuat peringatan yang sebelum letusan Merapi 2006, hanya beberapa dari 25.000 orang yang berisiko, termasuk Juru Kunci dan orang lain dari-Nya desa Kinahrejo, menolak untuk mengungsi. Sedangkan didaerah Selo dan Boyolali, di sisi utara Mt. Merapi, masyarakat setempat bahkan meninggalkan sebelum peringatan resmi. Oleh karena itu, tampaknya ada pengaruh faktor budaya dan persepsi risiko terhadap perilaku masyarakat turun sedikit sejak 1990-an ketika digambarkan oleh Schlehe, 1996 J. Schlehe, reinterpretasi dari mistis-penjelasan tradisi dari letusan gunung berapi di Jawa, anthropos 91 (46) (1996), hal 391-409. Rekam Lihat di Scopus | Dikutip Dengan dalam Scopus (11) Schlehe (1996).
Sultan Yogyakarta, yang mewakili hubungan antara tradisional dan modernitas, mungkin telah memainkan peran penting dalam perubahan ini. Dia telah secara aktif berpartisipasi dalam keberhasilan evakuasi pada tahun 2006, karena ia menjelaskan perlunya untuk mengevakuasi penduduk setempat terhadap saran dari Juru Kunci itu. Rumah sultan di Kaliurang (Sanggrahan) seharusnya melindungi desa. Hal ini diyakini telah dialihkan tahun 1994 aliran piroklastik ke desa Turgo, dimana masyarakat lokal merasa dirinya dilindungi oleh situs lain suci: makam syekh Maulana kubro di puncak bukit Turgo. The Sultan Yogyakarta sebagai keturunan langsung Brawijaya, raja terakhir dari dinasti Majapahit, wajib untuk menghormati nenek moyang mereka dengan membuat persembahan (Labuhan) di tempat-tempat suci seperti Mt. Merapi
Risiko persepsi
Studi kasus ini menunjukkan bahwa orang menyadari bahaya gunung berapi di lingkungan mereka tetapi hanya sedikit dari mereka menganggap mereka sebagai risiko bagi diri mereka sendiri.
- Pemahaman yang buruk dari proses vulkanik sebenarnya di luar pengetahuan mereka.
Ada beberapa alasan untuk hal ini antara lain adanya kesenjangan antara bahaya aktual dan bahaya diketahui. Pertama adalah sumber informasi mengenai bahaya dan risiko. Di Jawa, pengetahuan bahaya ditularkan melalui berbagai sumber, baik dari luar atau dari dalam desa yang beresiko. Pihak-pihak luar yang terlibat dalam transmisi pengetahuan adalah guru, wartawan atau pihak berwenang setempat. Aktor internal meliputi para tua-tua, yang memiliki lebih banyak kesempatan daripada orang muda untuk memiliki saksi letusan gunung berapi di masa lalu atau pernah mendengar tentang letusan mantan oleh nenek moyang mereka.
Tentulah dari mereka-meraka inilah pengetahuan bahaya risiko yang sebenarnya mengancam dapat ditularkan dan diajarkan. - Sebuah kepercayaan yang berlebihan dari tindakan yang sudah dilakukan.
Rasa keselamatan masyarakat lokal meningkat dengan dibangunnya beberapa fasilitas penanggulangan teknis terhadap bahaya vulkanik, misalnya drainase terowongan keluar dari danau kawah (misalnya di gunung Kelut), tanggul beton sepanjang tepi sungai rawan lahar meluap, bendungan perlindungan (SABO), tehnologi lain termasuk tindakan mitigasi yang meningkatkan keselamatan tujuan dapat mengakibatkan terlalu percaya diri dan perilaku berisiko (Adams, 1995 J. Adams, Risiko, UCL Press, London (1995) 228 hlm. Adams, 1995)
Tentunya ini perlu diajarkan bahwa teknologi akan membantu tetapi tidak menjamin.
Dengan demikian kita dapat mengerti mengapa masyarakat ini kurang mengerti risiko yang sebenarnya dihadapi. Tidak mudah menghadapi perubahan bahaya akibat dari dinamika gunung yang kadangkala berada dalam jangkauan usia generai-generasi budaya ini. Selang waktu kejadian puluhan tahun, masih dapat dideteksi dan diketahui satu dua hingga tiga generasi. tetapi letusan yang bersilklus ratusan tahun ? Bagaimana menjelaskan pada masyarakat yang terlanjur merasa aman ?
sumber: rovicky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar